Kamis, 07 Maret 2013

Bondon Winarno!


Tulisan ini saya dedikasiken utnuk pak bondan yang masih hidup dan acaranya yang sudah mati

(Pilot Project. Episode satu; act satu, durasi 7 menit. Episode yang ngga bakal ditayangkan di TV, sebab prediksi rating-nya minus)

(Camera: On)

“Wahaaai, wahaaai, para pemirsa….  Selamat siang. Kembali lagi di acara Wisata Kelenger bersama saya, Bondon Winnetou. Salam hoya-hoya!”

“Kini saya berada di daerah Cawang, para pemirsa. Tepatnya di pinggir kali Ciliwung. Acara jalan-jalan kita mulai episode kali ini ke depan akan menampilkan makanan-makanan indie yang sedang jadi tren bagi warga ibukota. Namun kita ngga pergi ke restoran kaya biasanya, lho. Saya bosan menu a la carte. Bosan lihat garnish sama caviar. Saya juga capek sekali berpura-pura menikmati semua masakan restoran; padahal di antara yang pernah saya cicipi sebelumnya, ada beberapa tempat yang rasa makanannya amburadul, bikin eneg…. Tapi saya terpaksa tetap harus bilang mak-nyus-mak-nyus. Ngga mungkin dong kalau saya jujur. Bisa-bisa saya di-ekstradisi dari acara ini; matilah awak….”

“Dulu, saya pernah icip-icip masakan Perancis yang kebetulan mbuh kenapa ada kecoak-item gede buanget di piringnya. Pertamanya sih saya kirain mushroom…; saya sangka escargot daging bekicot…; ngga tahunya beneran kecoak tulen! Alamak…. Terpaksa deh perasaan jijiknya saya empet-empet, pemirsa. Lha wong sedang on air, jé…. Live from Paris, darling! Saya baru bisa muntah-muntah waktu break kamera; muntah sehebat-hebatnya, 3 meter kubik, sampai produser acaranya ‘ngira saya lagi bunting.”

“Nah, pemirsa, jangan kemana-mana. Jangan pencet-pencet remote. Wisata Kelenger akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini.”

(…lalu terdengar bunyi drum gedubrak-gedubrak yang menandakan jeda acara, disusul jingle khas acara ini, yaitu lagu Genjer-Genjer versi reggae yang dimainkan orkes musik asuhan Pak Bondon sendiri, Bondon Philharmonic Orchestra…)

“Halo, pemirsa. Salam hoya-hoya! Sekarang saya ada di rumah salah satu warga kampung bantaran kali. Saya pingin icip-icip makanan bikinan salah satu ibu rumah tangga di sini, yang kemarin sudah saya mintai tolong menyiapkan hidangan untuk acara kita. Ah, ini dia pemilik rumahnya. Maaf, Bu. Nama ibu siapa, ya?”

“Butet Mananjak Manurung.”

“Masak apa hari ini, Bu? Saya dan para pemirsa ingin segera tahu hidangan ibu.”

“Noh, zudah zaya ziapin nazi. Lauknya ikan zapu-zapu goreng. Zayurnya kaga ada. Kebon kangkung zaya anyut kena banzir. Ada tuak zegelaz di zitu. Opung zaya yang bawa dari kampung. Minum azza kalo doyan, Pak.”

“Oke. Sekarang boleh langsung saya coba ya, Bu?”

“Gi dah. Eiiit…, tapi zzangan kebanyakan, ya. Laki zaya belom makan ziang.”

(Bondon Winnetou beringsut ke meja makan dari triplek tipis dan membuka tudung saji plastik yang sudah berlubang di sana-sini)

“Nah, ini dia, pemirsa…kelihatannya lumayan. Aaah, aromanya cukup sengit, pemirsa. Saya mau coba ikannya dulu, nih….”

(Tanpa sendok-garpu, Bondon langsung menyuwir daging ikan sapu-sapu itu dengan bernafsu. Tangannya berdarah terkena sirip tajam, tapi atas tuntutan peran, mau ngga mau Bondon ngga bisa teriak ‘ASU!!!’; jadi, beliau hanya cengar-cengir doang)

“Hmmm!!! Ehmmmh…! Wah, rough sekali, pemirsa. Hmmm…. Ini adalah goreng ikan sapu-sapu paling enak dalam pengalaman saya yang baru sekali ini mencoba….”

“Lihat, dagingnya putih dan rasanya gurih, barangkali karena digoreng hanya dalam waktu singkat. Orang Italia bakal bilang Bu Butet ini berselera aristokrat karena suka daging setengah matang. Junichiro Koizumi dan Doraemon akan menganggapnya bagai saudara. Hmmm, mak nyusss….”

(Di belakang, Bu Butet nyeletuk pelan, “Arizztokrat palé loh…orang zzaya cepet-cepet nggorengnya biar ngirit minyak tanah….”)

“Ikan sapu-sapu ini banyak hidup di kali Ciliwung yang terpapar limbah, pemirsa. Famili Loricariidae. Panjang badannya bisa mencapai satu meter. Kalau lebih semeter orang bakal mengira dia bukan ikan lagi tapi memedi; atau malah dianggap makhluk mutant calon Godzilla. Kulitnya betul-betul badak, terutama di tempurung kepala. Tulang siripnya tebal, tajam dan bisa Anda gunakan untuk membersihkan sisa makanan yang ‘nyangkut di gigi. Pengolahannya barangkali memerlukan alat-alat masak seperti martil, golok, linggis dan kadang gergaji mesin. Betul khan, Bu?”

“Horazz, bah. Zzuka-zzuka kau-lah.”

“Ada wangi sesame-nya, pemirsa. Sepertinya memang ditambahkan sedikit. Apa betul ini diberi minyak wijen, Bu? Aromanya kok sedap sekali. Minyak apa sih yang dipakai buat menggoreng ini, Bu?”

“Wizzen-wizzen ‘cem mana pula zih, Pak? Tak pake-lah. Orang cuman pake curah biazza kok. Itu pun belinya zudah lama zzekali. Dari zzaman gapura tuzzuhbelazan di uzung gang zzono belom bediri. Zzeingat zzaya minyaknya zudah kepake buat nggoreng ikan azzin zzeribu kali, zzama berapa kali dipake nggoreng cicek zama anak tokek, buat ngobatin zakit kutu aer mertua zzaya yang zzopir Kopazza….”

(…sekali lagi, atas nama profesionalisme, Bondon harus pura-pura cool. Beliau tetap senyum-senyum biarpun hatinya masygul…)

“Uhuk-uhuk…. Pemirsa, nah sekarang saya coba nasinya juga, ya. Hmmm, lho kok…—”

“Ngapa, Lay?”

“…eh, enggak. Ha-ha-ha, ngga apa-apa kok. Anu, nasinya kok keras, begitu. Rada sepet, begitu. Beras apa ini, Bu?”

“Berazz entah-lah, Pak. Pokoknya namanya nazzi aking.”

“Oooo…. Jadi macam ini tho rasanya…(bisik-bisik: Alangkah runyam…sontoloyo…).”

“Oya, pemirsa…sekadar informasi, setahu saya aking ini adalah nasi dari beras daur ulang. Nasi basi dikeringkan, dikembalikan ke bentuk beras, lantas ditanak lagi. Lihat teksturnya yang kasar, pemirsa. Ada yang gepeng, ada yang bulirnya bertumpuk. Warnanya cukup menimbulkan selera, agak keruh-keruh gimana, gitu…. Aromanya, hmmm…kaya aroma kerak gosong di dasar dandang. Nah, pemirsa, kini saya merasa sayang jika membayangkan nasi betulan yang dibuang-buang sama cewek-cewek ja’im yang sok ngga mau ketahuan makan banyak di depan gebetan-nya, padahal banyak orang lagi pada kelaparan dan susah…; kaya ngga punya sense of solidarity, gitu…. Kemayu….”

“Yang makan aking ini cuma rakyat susah. Dan rakyat itu sebetulnya raja. Kedaulatan ada di tangan mereka, bukan? Maka itu, nasi buluk ini dinamai nasi a-king, pemirsa.”

(Kamerawan yang tadinya anteng bekerja tiba-tiba menyahut kencang sekali, “Ah, tai banget lu, nDon! Khotbah ni yeee…. Monyet…!”)

(“Itu teori Rouzzeau apa Montezquieu, Pak?” tanya Bu Butet)

(Pak Bondon gelagapan ngga bisa jawab sebab beliau tadi memang cuma ngomong asal-asalan…. Biar ngga kagok, beliau langsung menghabiskan tuak sekali tenggak, lalu bersendawa panjang….)

“Haeeeeeeeeeq’…! Fyuh….”

“Wuih, pemirzza…hikz…zzueeeger bianget. Ini tuak dari pohon nira; razzanya kerazz zzekali. Betul-betul azzli Batak. Zzepertinya fermentazzinya zzudah berlangzzung zzekian ratuzz tahun, hikz. Razzanya pahit-mazzam, lebih kental dan lebih gelap dari white wine, pemirzza. Azztaga…nikmat ‘kali razzanya, bah! Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!! Pemirzza, hikz…Anda zzebaiknya…hikz…zzangan minum ini zzebelum berkendara, kecuali Anda…hikz… memang pengen zzegera darmawizzata…hikz-hikz…ke neraka….”

(Pak Bondon tiba-tiba merasa pandangannya semakin berputar. Bumi gonjang-ganjing. Warna mukanya mulai mirip kepiting rebus. Beliau berteriak, “Cut!!! Cut!!! ‘Cem mana pula!!! Apa kata dunia??!”)

(Orang-orang jadi pada bingung. Apa maksudnya? Mereka menduga, akibat rada drunk, mungkin beliau jadi lupa bahwa saat itu beliau sedang jadi pembawa acara; bukannya sutradara….)

Walhasil, karena Pak Bondon mabok sampai pingsan, syuting hari itu bubar di menit ke tujuh. Seluruh kru produksi memutuskan menunggu pulihnya kesadaran Pak Bondon yang jatuh terkapar dengan lemah gemulai di meja makan.

Bu Butet sudah menerima honorarium-nya. Kini dia sedang mengipasi kepala Pak Bondon dengan segepok duit seribuan; dan dengan rutinnya menyapukan minyak sinyongnyong ke cuping hidung beliau agar segera siuman. Ia menyanyikan sebuah lagu Batak yang berjudul Somebody To Love:

…zzom—ba—de—tuuu—lop

tu—lop—ha—tu—looo—o—ooo—op

…zzom—ba—de—tuuu—lop

tu—lop—ha—tu—looo—o—ooo—op

zzi—nang—gar—
tu—lo—ha—tu—loooooo…

Zzukup zzekian zzaza. Wazzalaam.


Selasa, 08 Januari 2013